Giselle, Klasik dan Modern

Giselle (judul asli Giselle, ou les Wilis dalam bahasa Perancis yang artinya Giselle, or The Wilis) adalah sebuah cerita ballet klasik pada era romantic ballet. Di tahun 1841, penulis naskah Jules-Henri Vernoy de Saint-Georgesdan Théophile Gautier menggabungkan beberapa karya lainnya, dan menuliskan libretto Giselle yang kemudian dikoreografikan oleh Jean Coralli dan Jules Perrot.  Ballet ini dipertunjukkan untuk pertama kalinya di Ballet du Théatre de l’Académie Royale de Musique di Salle Le Peletier, Paris, Perancis di tahun yang sama, dengan ballerina Carlotta Grisi sebagai Giselle. Digambarkandalamdua elemen yaitu; tarian dan mime, pemeran Giselle tidak hanya dituntut untuk pandai menari, tetapi juga harus mahir berakting. Pada 1880 Marius Petipa membuat banyak perubahan dalam koreografi Giselle dan hasil koreografinyalah yang kita lebih kita kenal saat ini.

Foto: Wikipedia

Act 1 bercerita tentang kehidupan seorang gadis pada abad pertengahan di Jerman bernama Giselle. Ia adalah gadis yang sangat senang menari walaupun keadaan jantungnya lemah. Pada suatu hari seorang bangsawan bernama Albercht jatuh cinta pada Giselle, namun untuk menarik perhatiannya, Albercht menyamar sebagai laki-laki biasa. Akan tetapi setelah mereka berdua jatuh cinta, identitas asli Albercht terbongkar, dan ternyata Albrecht sudah memiliki tunangan. Giselle merasa dibohongi, diapun terus menerus menari tanpa kendali hingga akhirnya meninggal.

Act 2 memasuki kisah setelah Giselle meninggal. Ia bertemu dengan sekumpulan Wilis, yaitu arwah-arwah perempuan yang meninggal karena perasaan sakit hati terhadap kekasihnya, mereka dipimpin oleh seorang ratu bernama Myrtha. Tak lama, Albercht pun datang dan menangis di pusara Giselle, ia menyesali kebohongannya. Arwah Giselle pun muncul dan para Wilis mengajak Giselle untuk bergabung dan membalaskan dendamnya. Namun Giselle menolak dan memohon kepada Myrtha untuk memaafkan Albercht. Myrtha tidak menyetujuinya dan melemparkan mantra sehingga Albercht terus menerus menari tanpa henti sampai nyaris kehabisan tenaga. Giselle memaafkan Albercht dengan sepenuh hati dan terus memohon hingga akhirnya mantra Myrtha terpatahkan oleh cintanya. Arwah Giselle pun kemudian akhirnya pergi bersama para Wilis dan beristirahat dengan tenang.

Cerita Giselle disebut sebagai salah satu mahakarya pada era romantic ballet karena pada abad ke-18 cerita mitologi dan dewa-dewi lebih diminati oleh kalangan bangsawan dibandingkan cerita yang berkisah tentang kehidupan nyata. Padaeraini pula, terdapat dua cerita ballet dengan tema yang sama, yaitu Ballet of The Nuns (oleh Giacomo Meyerbeer) dan La Sylphide (karya Filippo Taglioni). Sebagai pendukung tema cerita, para penari pada era tersebut menggunakan tutu panjang berwarna putih dan pointe shoes untuk pertama kali dengan gerakan-gerakan yang sederhana namun memberi efek “melambung” atau “terbang” Hal ini kemudian menjadi ciri khas dari ballet di era romantic. Ballet of The Nuns dan La Sylphide pula lah yang menjadi inspirasi Gautier untuk menulis cerita Giselle.

Foto: dok. NAMARINA (Suprapto), Ballet & Jazz School Production 2016

Pada tahun 2016 Akram Khan,penari dan koreografer berdarah India, yang menetap di Inggris mementaskan versi modern dari Giselle di Manchester dengan penari-penari dari English National Ballet (ENB). Tamara Rojo, yang pada saat itu baru ditunjuk sebagai director dari ENB, mengundangnya untuk memperbarui mahakarya ini, juga berperan sebagai Giselle. Khan sebenarnya bukan berlatar belakang dari ballet, melainkan seorang penari kathak dan kontemporer. Kathak sendiri merupakan tarian tradisional dari India. Khan menginterpretasikan kembali cerita Giselle dari era romantic ballet ini dengan latar belakang kehidupan di abad ke-21 atau yang kita kenal sebagai era globalisasi, di mana perbedaan status sosial terlihat sangat jelas. Pada versi ini, Giselle digambarkan sebagai seorang imigran dan Albercht sebagai orang yang kaya. Perbedaan status sosial ini digambarkan dengan adanya tembok Berlin sebagai pembatas kehidupan mereka. Koreografinya menggabungkan antara koreografi ballet klasik dan kontemporer dengan sentuhan kathak yang cukup kental sehingga menciptakan tarian yang lebih kuat, dramatis, dan Khan berhasil menciptakan “Giselle” dengan ciri khas tersendiri.

Mungkin dari segi cerita Giselle tidak mengalami banyak perubahan, tapi dalam koreografi, latar panggung dan kostum sangat jauh berbeda dari Giselle era romantic yang kita kenal. Bekerja sama dengan desainer asal Hongkong bernama Tim Yip, para penari tidak lagi memakai kostum berupa tutu panjang berwarna putih, melainkan kostum yang sangat sederhana seperti one-piece dress untuk para penari wanita. Pilihan warnanya pun tidak mencolok, seperti abu-abu dan krem. Dekorasi panggung dibuat lebih sederhana dengan menggunakan latar yang dapat berputar sebagai simbol dari tembok Berlin, pencahayaan dibuat lebih gelap dan dramatis oleh Mark Henderson. Musik yang diadaptasi dari Adolphe Adam pun menjadi musik kontemporer oleh komposer Italia bernama Vincenzo Lamagna dengan menambahkan tabuhan drum, hentakkan kaki manusia, biola, dan unsur lainnya.

Foto: www.listentotheworld.net/human-aesthetics/akram-khans-giselle/

Pementasan ini sukses digelar karena Akram Khan dan penari dari English National Ballet berhasil membawakan kembali cerita klasik era romantic ballet dengan sentuhan kehidupan abad ke-21 tanpa mengubah inti ceritanya yang berkisah tentang cinta antara dua orang dengan status sosial yang berbeda yang terpaksa harus berakhir dan terpisahkan oleh kematian. Hal ini juga membuktikan bahwa seni merupakan sesuatu yang “hidup” dan selalu memiliki potensi untuk berkembang, bahkan mampu menjembatani masa lalu dengan masa sekarang.

Kalau penasaran dengan proses kreasinya, kalian bisa melihatnya di tautan ini:

(Aisha Antinasari Ekaputri)