Gala Evening
TRADIKAL
Koreografer: Dinar Karina
Tradisi tak pernah berdiam diri, dan hadir di seluruh bentangan bumi; selalu bergerak, mengingat masa lalu, menyahut kini dan menyongsong esok. Sesuatu yang baru hari ini adalah tradisi dilanjut waktu. Tradisi ballet turut membuahi modern dan jazz dance (dan juga kontemporer). Tradisi tari yang lain juga mengalir, mengairi apapun yang dilaluinya, termasuk tradisi tari di dan dari tanah Barat. Persenyawaan adalah keniscayaan, antara yang lembut, yang anggun dan kokoh, yang kerap memperkaya tradisi lama, dan kadang melahirkan tradisi baru.
Musik: Boo-boo Sianturi
Prelude, Fugue and Allegro for I Nyoman Astita
Komposisi ini ditujukan untuk I Nyoman Astita, salah satu tokoh penting di dalam diaspora musik Bali.
Karya ini ditulis dalam format Neo Prelude, Fugue dan Allegro berasal dari zaman Baroque, lebih utamanya, terkait dengan Prelude, Fugue and Allegro yang ditulis oleh J. S. Bach untuk Baroque Lute dan Hapsicord.
Prelude menggambarkan pemandangan dari pesisir timur pulau Bali, menghadap ke Pulau Penida dari sisi Candidasa. Bunyi drone dari alat synthesizer membayangkan luasnya pandangan selat dan pesisir, sedangkan suara sitar dan gitar mengilustrasikan interaksi/dialog yang terjadi antara ombak dan pesisir pantai dengan pola pengulangan. Prelude juga diharapkan bisa mengekspresikan bayangan suasana lokal sekitar yang dilanjutkan dengan Fugue dengan tema utama yang berlandaskan pada pentatonic scale. Setiap subyek dan kontra subyek adalah variasi atau perkembangan dari subyek utama yang dikonstruksi berdasarkan kerumitan rhythm sakral gamelan Bali dengan pengayaan harmoni yang homofonik.
Allegro, mendapatkan inspirasi dari pola irama yang diperkenalkan oleh I Nyoman Astita melalui alat perkusi kendang, di kediamannya di Denpasar, saat komponis berkunjung sekaligus berguru. Struktur utama Allegro berangkat dari empat suara atau alat musik yang berbeda (gangsa, dua gitar akustik, dan biola) sebagai fondasi dasar, dimana bagian irama diramaikan dengan alat musik perkusi dari gong, chimes, sampai xylophones untuk menggambarkan kekayaan warna suara dari seksi perkusi gamelan orkestra.
Visual: Balarea
Karya Visual: Adikara Rachman [dibantu oleh: Bintang Perkasa, Reydo Respati, Dwie Judha Satria]
Judul di atas diambil dari bahasa Sunda yang berarti milik bersama. Ketradisian adalah milik bersama, yang dihidupi bersama-sama pula yang bertautan dengan ketuhanan dan lingkungan. Dimensi makna dari Balarea tidak terbatas pada kelokalan yang sempit karena kesamaan senantiasa hadir di tengah-tengah kita. Kesamaan adalah kenyataan kita semua, begitu pula dengan keragaman. Kedua kenyataan yang kita semua sadari dan hidupi ini adalah milik kita bersama.
Kebudayaan lahir dan tumbuh dalam persinggungan antara manusia, ketuhanan atau keyakinan, dan alam lingkungan. Ketradisian adalah salah satu manifestasi dari pertemuan ketiganya. Pergulatan dalam triangulasi ini diterjemahkan melalui beberapa elemen seperti warna, simbol, obyek figuratif dan pola. Pewarnaan berangkat dari tiga warna tradisi utama di Indonesia, yakni putih, hitam dan merah. Penggarapan ketiga warna dasar ini merupakan simbol ketuhanan atau keyakinan yang melandasi kehidupan suatu tradisi. Bentuk abstraksi gunung, hewan dan tumbuhan hadir sebagai simbol wilayah budaya dan kekayaan alamnya, sedangkan obyek-obyek figuratif merupakan perlambangan dari ritual atau upacara dalam kebudayaan. Visualisasi menggunakan pola pengulangan (repetitif) yang senantiasa hadir dalam kesenian serta kerajinan tradisional kita, yang ditampilkan melalui pengulangan garis. Kemeriahan warna pada layar ketiga atau terakhir mewakili perayaan terhadap kekayaan kita semua, yaitu kesamaan dan keragaman.
JALIN
Gerak, Bunyi dan Ruang
Berawal dari suatu sunyi, ada gerak di dalamnya, lalu hadirlah bunyi. Gerak terus hadir dengan semakin tegas dan kuatnya dentuman kaki. Unsur bertambah dalam ruang, bergerak bebas, indah dan lincah.
Helai Menjadi Lembar
Benang meliuk dalam mesin, mencari suatu bentuk, saling bergantung, saling mengisi. Kecepatan, ketangkasan dan keterampilan tangan lalu turut berjuang untuk lahirnya sebuah karya. Benang bertambah, jalin menjalin dalam mesin yang sibuk, menambah luas dan warna. Dari sehelai benang, lahir selembar kain yang menuai takjub di mata.
Musik:
Impromptu I adalah sebuah cuplikan materi yang diambil dari rekaman berimprovisasi hidup pertama dari Gado-gado Ensambal. Improvisasi adalah komponen penting di dalam proses terbentuknya ensemble ini, karena itu kesempatan untuk bisa mengaplikasikan improvisasi dalam konteks rekaman adalah sebuah pengalaman baru yang mencerahkan sebagai proses pembelajaran.
Kebebasan dalam berpikir dan berekspresi berperan penting di dalam prosesnya; setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berekspresi bebas tanpa ditentukan oleh norma dan aturan tertentu. Kesempatan ini memberikan ruang untuk berbagi dan berkomunikasi melalui musik yang disertai rasa saling hormat, dan juga menjembatani pola pikir kolektif sebagai upaya penting untuk mewujudkan dunia global yang damai seperti yang diidamkan oleh semua orang.
Perekaman karya ini adalah ujung dari proses alami di antara dan pada para pemusik dalam kurun waktu enam bulan. Saat dilaksanakan, eksplorasi diramaikan dengan berbagai alat musik berbasis akustik seperti gitar klasik, hasapi (kecapi Batak), penting dan beragam alat perkusi.
Komposisi ini digubah untuk mewadahi konsep imajinasi dari tarian pas de deux (berpasangan). Berangkat dari tema “Tenun”, musik digambarkan sebagai hubungan erat antara benang dan mesin yang sedang bergelimut sebagai bagian dari proses bertenun. Warna suara gitar dan pola melodi juga menggambarkan benang perempuan dimana suara natural metal perkusi dari penting (kecapi khas Tenganan, Bali) menggambarkan benang lelaki.
Cosmic Vibration
Cosmic Vibration I adalah penggalan dari sebuah komposisi berseri yang ditulis dan didedikasikan untuk I Wayan Sadra; seorang komponis dan musisi luar biasa asal Bali. bagian ini berfokus pada penggarapan interlocking rhythm antara Turkish Oud, Hasapi, Piano, Violin, Gangsa, dan beragam alat musik perkusi dari Kalimba asal Afrika sampai ke alat perkusi dari tradisi folk Eropa. Sebagai compliment, irama pengiring yang diambil dari Gondang Hasapi Batak digunakan untuk memperkuat dan memperkaya irama dan intensitas.
Empat Benang
Komponis: Boo-boo Sianturi
Musisi: Boob-boo Sianturi & Jason Noghani
Sebagai kelanjutan dari pas de deux yang pertama. “Empat Benang” digubah untuk mewadahi konsep imajinasi dari dua pasang penari. Pasangan dua benang yang baru, mampu berjalin dengan dua benang sebelumnya, untuk memperjelas struktur dan motif tenun serta kominasi warna natural yang kaya. Alat musik oud dan harmonics pada gitar adalah refleksi dari pasangan yang baru, dimana secara bertahap kedua pasangan saling berjalin satu sama lain sehingga terjadi pengayaan dalam satu kesatuan.
Ragam dalam Satu
Komponis: Sergio Assad
Musisi: Los Angeles Guitar Quartet
Musik ini adalah sebuah cuplikan dari Uarekena (1997) karya Sergio Assad untuk kuartet gitar.
Karya ini mengambil tema dari lagu tradisional salah satu suku asli di Amazon yang wilayahnya terletak di Brazil dan Venezuela. Berangkat dari dua tradisi folk di kedua negara tersebut, tema ini kemudian digubah dengan unsur impressionism Perancis dan jazz Brazil yang dimainkan dengan empat gitar. Empat tradisi musik berbeda, dilantunkan dengan empat gitar, bertaut-paut, jalin-menjalin, melahirkan satu maha karya.
Visual: Menjalin Rupa
Perupa: Adikara Rachman & Bintang Perkasa, Reydo Respati, Dwie Judha Satria
Tarian “Jalin” diawali dengan suatu prelude terhadap suatu interaksi. Gerak tanpa bunyi, lalu bunyi menyambut gerak, dan kemudian gerak dan bunyi bersahutan dengan lingkungan. Interaksi ini kemudian bergerak dalam kebebasan seiring dengan musik yang juga lahir dari kebebasan. Lalu, persinggungan itu dirinci melalui tema Tenun, dimana benang, alat dan manusia “bekerja sama” untuk melahirkan karya yang satu.
Titik berangkat dari interaksi ini diwakili oleh karya di layar belakang berukuran 9×6 meter yang sejak awal sudah menggunakan proses menenun sebagai tema. Secara visual, benang adalah garis yang merupakan elemen dasar rupa dan, menjadi sangat diperhatikan dalam gubah rupa. Banyak kain tradisional Indonesia yang diperkaya oleh ragam hias dengan pola berulang yang menginspirasi pengulangan bentuk (shape) lingkaran. Olah garis yang tidak geometris tetapi ekspresif merupakan ungkapan artistik Perupa yang sejak awal memilih pendekatan ekspresionistik; oleh sebab itu, garis sebagai benang merupakan tarikan kuas dalam dimensi yang lebar untuk menanggapi bidang kain hitam yang besar. Tumpang tarikan warna dengan pengulangan lingkaran pada akhirnya merupakan suatu jalinan elemen dasar rupa seperti halnya jalinan benang pada saat ditenun. Gubah rupa yang formal seperti yang terlihat juga pada karya di tarian “Jalin” adalah pilihan metode untuk mendapatkan kedinamisan dan juga merupakan ciri (signature) dari Perupa.
Setelah prelude, tarian menanggapi musik yang lahir dari spontanitas (impromptu), dan Perupa pun kemudian menanggapi tarian dan musik secara spontan, dengan membuat karya bersamaan saat tarian berlangsung (live painting). Spontanitas dan kemandirian dalam berinteraksi yang saling mengisi dan menghormati merupakan attempt dari pembuatan karya ini.
Penari NYD
- Andhini Rosawiranti
- Anisa Nugrahanti
- Athaya Puri Syahrial
- Felicia Harenya Suniastari
- Irina Putri Sudarsono
- Irninta Dwitika
- Kshanti Aisyah Kendana
- M. Kanya Anindita
- Mariska Nauli
- Sasha Febri Safithri
- Saskia Anindita Utomo
- Soraya Nathasya Dwinandry
- Truly Rizki Ananda
NYD Apprentice
- Adinda Nabila Mutiandra
- Anasha Citra Melati
- Anastasya Ulliwidya
- Dwigdi Diksita Rattoe
- Elfiera Einar Ozora
- Joan Dorothea
- Kirana Nasywadara
- Mayzura Restalia Munaf
- Shekina Arifin
Penari Tamu
- Arif Surahman
- Davit Fitrik
- Enrico Tanod
Premiered on 3 December 2016 at Teater Jakarta
as part of NAMARINA 60th Anniversary Gala Evening